Pak Tua dan Biji-biji Jagung

Alkisah, ada seorang kakek tua yang sangat tua. Rambutnya tidak ada satu pun yang hitam lagi. Semuanya putih dan mengilat. Kulit wajahnya keriput, tapi matanya memancarkan aura kebijaksanaan.

Kakek ini gemar memberi makan burung-burung dara di bekas lapangan bola voli yang terbengkalai. Setiap pagi dan sore, dia menebarkan biji-biji jagung dari sebuah kantung hitam berbahan kain tebal.

Namun, pada suatu pagi yang gelap, tidak ada satu pun burung dara yang mendatanginya. Udara sedang menghitam dan berkabut. Pak Tua bertanya-tanya dalam hati. Kedua alis kakek bertaut. Bola matanya mendadak layu. Kemudian mulai berair karena menahan perih asap hitam yang menyelimuti lapangan usang itu. Ia terlihat seperti menahan napas berkali-kali.

Biji-biji jagung di kantong hitam ia remas-remas dengan tangan yang mulai gemetar. Pak Tua berjongkok dan tetap menebarkan biji-biji kecil orange itu. Satu genggam telah ia tebar. Diambilnya lagi segenggam, lalu ditebarkannya lagi ke arah lain. Begitu seterusnya sampai habis. Kantongnya kini sudah kosong. Burung-burung itu tetap tidak datang.

Pak Tua bergerak perlahan. Tangannya memegang lutut untuk membantu dirinya sendiri berdiri tegak. Matanya melihat ke angkasa. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di atas sana karena semua terlihat begitu pekat. Menghitam akibat kebakaran hutan di pulau seberang.

Mungkin tugasnya sudah selesai. Burung-burung dara itu tak datang lagi. Bisa jadi mereka telah menemukan tuan baru di belahan bumi lain, yang lebih ramah dan berpihak pada penghuninya. Pada makhluk hidup, termasuk pada burung-burung dara.

____

Oleh: Lusi S. Kagie

Petarukan, 31 Juli 2017

*Mencoba meniru gaya bercerita di buku Pintar Berbahasa Indonesia

Perihal Writer’s Block dan Ewer-Ewernya

Seorang penulis sangat mungkin mengalami writer’s block. Entah yang amatir maupun profesional. Ini ditandai dengan rasa malas menulis, layar kosong, kursor berkedip, ide mentok, kehilangan kata, dan gejala lainnya. Tentu, mereka punya tips sendiri untuk menyembuhkannya.

Saya pribadi lebih suka baca, jalan-jalan, nonton film, sepedaan, ngobrol sama anak kecil, sama bayi, sama kucing. Lebih banyak mendengar, lebih banyak merasa. Entah, bisa jadi itu adalah beberapa bentuk penyembuhan, atau mungkin pencegahan. Menutrisi diri agar tercipta daya imun terhadap writer’s block itu perlu, ‘kan?

Langkah kemudian yang saya lakukan adalah ‘memaksa menulis’, apapun itu. Tulisannya gak harus bagus. Nulis bebas aja. Apa yang saya pikirkan dan rasakan. Mirip seperti nulis diary. Tapi itu hanya pancingan saja. Untuk disuguhkan ke pembaca, tentu kita harus lebih bijak, memilih dan memilah.

Saat saya ‘memaksa’ untuk menulis yang lebih serius, otak saya mulai hangat. Seperti mesin yang lama tidak dihidupkan, lalu mencoba untuk dijalankan. Hasilnya? Haaa, tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Terus saja berjuang!

Berdiam diri, mengingat memori, merenung, berpikir, merasa, berimajinasi, membaca, mencari, berpikir lagi, merasakan lagi, menimbang, menulis, eksplorasi, lanjut menulis, menulis lagi, dan yeaaah, i’m free!

_____

Petarukan, 27 Juli 2017

7: 15 AM

Matahari, Jam Dinding, dan Sebuah Kisah

Ini benar-benar tidak mudah. Setelah apa yang kualami, mungkin tidak akan pernah lagi kuizinkan hatiku untuk berharap padanya. Pada makhluk itu, atau yang ini, atau yang lainnya lagi. Benar kata orang, kecewa adalah buah dari berharap pada makhluk.

Ini benar-benar tidak mudah. Aku memutuskan untuk bertahan pada pilihan yang kubuat sendiri. Meninggalkan wanita yang selama ini tulus menyayangiku itu sama dengan menyakiti diriku sendiri. 

Ini benar-benar tidak mudah. Aku mencintainya. Dan aku tahu, dia tidak mencintaiku. Dia … mencintai perempuan itu. Aku tidak peduli. Aku memang egois dan aku menikmatinya.

Bahkan air mata ini selalu jujur padaku. Ia tahu, kapan harus menetes dan kapan harus bersembunyi. Aku sedih, tapi aku harus kuat. Tapi … apakah mungkin aku tegar untuk mengatakan “semoga kalian bahagia”?

Bahkan air mata ini selalu jujur padaku. Meski dia tak pernah melihatku menangis, tapi nyatanya sekarang aku tersedu dalam gelap. Ini menyakitkan. Jika saja aku tidak buru-buru. Jika saja aku tahu lebih awal. Jika saja situasi tak mendesakku. Jika saja … ah!

Bahkan air mata ini selalu jujur padaku. Bertahan pada pria yang tak mencintaiku memang menyedihkan. Aku tahu dia hanya berpura-pura di depanku. Berlagak peduli dan perhatian, namun matanya memancarkan hal lain. Jika saja aku tak mencintainya …

Matahari akan tetap terbit esok pagi, bukan? Semua akan berlalu. Dan ini pun akan berlalu. Hai kesedihan, aku akan memelukmu.

Matahari akan terbit esok pagi, bukan? Aku pasrah. Aku hanya perlu menjalani apa yang sudah menjadi keputusan. Esok, mungkin aku akan kembali mencarinya, atau tidak sama sekali. Entahlah. Sepertinya perasaan ini tidak akan berubah.

Matahari akan terbit esok pagi, bukan? Aku yakin dia akan mencintaiku suatu saat nanti. Jika itu tak terjadi, aku takkan menyerah begitu saja.

Aku adalah jam dinding. Sabar dan tunggulah. Waktu akan berpihak padamu, mu, dan mu.

____

Oleh: Lusi S. Kagie

Petarukan, 23 Juli 2017

7:35 PM

#Fiksi #FiksiMini #FiksiLusi #TantanganKelasFiksi4

Bukan Pertemuan Terakhir

“Yang penting, jilbabin hati aja dulu! Sholatnya udah lima waktu belum, ngajinya udah bener belum, akhlaknya …”

Iya juga, ya. Belajar sholat aja baru kemarin-kemarin. Ngajinya masih terbata-bata. Apalagi akhlak? Tapi, bukankah perbaikan akhlak harusnya berlangsung seumur hidup?

“Kamu mau nunggu sampai kapan? Yakin besok-besok masih hidup?”

Ngeri …

Sarah meremas-remas jilbab putih yang telah lama dia simpan dalam lemari. Cermin di depannya memantulkan tatapan mata kosong dari seorang gadis. Ia melamun, cantik dengan rambut tergerai panjang.

Kalau aku pakai jilbab, nanti mirip emak-emak gimana? Nanti nggak bisa istiqomah gimana?

Sarah ragu-ragu mengikat rambutnya. Meraih ciput di atas meja rias dan memakainya untuk menutupi kepala. Ia terhenti sejenak, menatap kembali jilbab putih dan meremas-remas entah yang ke berapa kali.

Bodo amat, ini perintah Allah. Mau mirip emak-emak kek, mau dibilang sok iyes kek.

Sarah bergerak cepat mengenakan jilbab itu di kepalanya. Merapikan, mengulang-ulang, melihat wajahnya dari sisi kanan dan kiri, memakai jarum pentul di bawah dagu, dan terakhir mengenakan bros kecil di atas dada, dekat bahu kiri. Masih terlihat sedikit aneh, tapi dia tak peduli. Besok-besok masih bisa belajar memakainya lagi dengan lebih rapi. Mungkin begitu pikirnya.

Gadis bermata bulat itu melirik ke arah jam dinding. Bergegas meraih tas punggung, memakai sepatu flat, dan berjalan menuju gerbang. Siap dengan telinga kebal untuk tidak peduli lagi dengan penilaian manusia.

Aku adalah keraguan. Saatnya berpamitan. Selamat tinggal, Sarah. Ini bukan pertemuan terakhir. Sampai jumpa besok dalam situasi dan pilihan yang berbeda!

____

Petarukan, 19 Juli 2017

8: 26 AM

AKU YANG LAIN

“Halalkan atau putuskan aku!”

Uh, ngeri sekali wanita ini. Padahal jelas-jelas dia cinta mati sama Tuanku. Kalimat penuh risiko! Aku paham betul, bahasa yang dipakai wanita seperti dia. Meski tak pernah dia terangkan secara benderang perihal perasaannya, tapi dari kata-katanya sudah jelas: dia cinta Tuanku!

Kali ini, lihat, dia begitu tegas mengatakan kalimat itu. Entah, mungkin dia mulai lelah dengan semuanya. Perempuan mana yang tak butuh kepastian? Perempuan mana yang mau diombang-ambing dengan ‘komitmen palsu’ dalam sebuah hubungan yang tidak berbatas waktu? Bertahun-tahun lamanya, mirip kredit motor saja.

Tuanku memang setia. Bahkan, bisa kupastikan, dalam diriku tidak ada foto wanita mana pun kecuali perempuan ini. Tidak ada foto mantan. Bahkan, lagu yang mengingatkannya dengan mantan pun sudah dia hapus. Aku ikut lega.

Meski memang betul kata manusia, kenangan bisa terhapus dari memori ponsel, tapi tidak dari hatinya. Memang betul kata manusia, waktu adalah obat luka terbaik, tapi kenangan seringkali jahat. Kembali menghantui, kembali melukai, lagi dan lagi. Dan kamu tahu? Foto, lagu, kata-kata, dan segala tentangnya adalah pemicu paling baik untuk menghadirkan kenangan. Apalagi wujud nyata si doi, yang mungkin tidak sengaja bertemu pada sebuah titik waktu dan tempat. Atau ketika kamu mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang sering kalian lewati bersamanya. Itu pemicu paling baik dari yang terbaik.

Setidaknya, Tuanku sudah berusaha. Dia berusaha bersetia. Dia berusaha tidak membiarkan hatinya kembali mengorek sesuatu dari masa lalu. Fokus pada perempuan ini, yang sangat dia cintai. Lalu, aku sangat gemetar menunggu kalimat apa yang akan Tuanku ucapkan untuk menanggapi kalimat ngeri perempuan di hadapannya.

“Aku …”

Yakkk, ayo Tuan, kamu pasti bisa! Tatapanmu sudah sangat meyakinkan. Lanjutkan, Tuan!

“Aku …”

Oh, Tuhan. Biasanya juga lancar-lancar saja. Kenapa mendadak lidahmu kelu begini, Tuanku? Habis makan apa tadi? Aku sudah tidak sabar.

“Sarah, aku … akan menikah.”

Akan menikah? Akan menikahinya kan maksudnya? Menikahi Sarah, kan? Katakan lebih lengkap, Tuan!

“Maafkan aku.”

Ini acara apa sih? Kenapa mukanya mendadak sedih begitu? Bukankah Tuanku sedang melamar wanitanya? Aku tidak paham. Kenapa minta maaf segala? Lihat, Sarahmu terlihat kebingungan, Tuan.

“Aku sangat mencintaimu, tapi maaf … aku harus menikahi wanita lain.”

Wanita lain? Tunggu, siapa yang dimaksud wanita lain? Bukankah hanya ada foto Sarah di dalam diriku? Bukankah selama ini hanya ada Sarah pula di hatinya?

“Siapa?” Mata Sarah berkaca-kaca. Hatinya mungkin sudah tersedu, basah kuyup. Tapi aku tahu, dia menahannya.

Tiba-tiba, sebuah dering terdengar dari arah saku kiri milik Tuanku. Seperti suaraku, tapi sedikit berbeda. Ritmiknya lebih rapat dengan tempo lebih cepat. Aku cemburu. Sejak kapan Tuanku memiliki ‘aku yang lain’?

“Maaf, aku harus pergi sekarang, Sarah.” Kalimatnya singkat setelah mengambil dia yang berdering. Aku beku, Sarah juga. Senyum Sarah abadi dalam diriku, entah dalam hati Tuanku.

Copy of Screenshot_2017-07-13-15-26-03

____

Petarukan, 13 Juli 2017

3: 13 PM

#FiksiLusi #KelasFiksi
#TantanganFiksiMateri1

Nemu Inet

Nemu? Iya, nemu. Ngubek-ubek Pekalongan beberapa bulan lalu, tak satu pun yang bernama Inet. Tadi siang, aku lagi main ke kampus IAIN Pekalongan, eh baru deh liat yang namanya Inet. Oh, ini tho yang namanya Inet. Postur tubuhnya lebih imut dari aku yang katanya imut. Tapi daya khayalnya luar biasa.

Hmmm. Jodoh pasti bertamu, eh bertemu. Ada saja peristiwa (yang pastinya tidak kebetulan) yang akan mempertemukan. Seperti yang telah dilansir oleh blog ini, pertemuan kami memang cukup dramatis.

Akhirnya, satu anggota ODOP (One Day One Post) berhasil kutemukan di dunia nyata. Masih banyak yang lain, semoga kita bisa bertemu, ya! Khusus buat Bang Syaiha, terima kasih telah menyatukan orang-orang yang punya hobi sama, menulis. Di sana kami tidak hanya saling belajar menulis, tapi juga berteman. Layaknya sebuah komunitas, terkadang kami merasa seperti keluarga.

Ya, aku nemu Inet. Satu hal yang baru kuketahui hari ini adalah dia bertanggal lahir selisih satu hari denganku. Dia 3 November, aku 4 November. Pantesan agak setipe. Sama-sama anggun, kalem, pendiam, manis, gitu-gitu deh pokoknya (dilarang interupsi!)

Terima kasih atas sambutan hangatnya. Aku tunggu di Pemalang! (Katanya mau belajar gitar?)

15218632_735056906645851_1391940897_n
Daripada dibuang mending dipajang. 😀

Sukses Itu Mahal



Bakat. Kita, mudah saja melihat dan menilai orang sukses dari luarnya. “Hebat, ya! Berbakat dia!” Sebagian besar mengatakan dia yang sukses di bidangnya adalah dia yang berbakat. No! Poin tertingginya bukan itu. Oke lah dia memang berbakat. Tapi kalau saja dia tidak bekerja keras mewujudkan mimpinya maka bakat itu hanya akan menjadi mutiara kecil yang tertimbun.

Gigih. Di balik suksesnya yang terlihat sangat mudah untuk diraih, ternyata ada banyak tantangan yang harus dia lewati dengan segala keterbatasan. Ia tidak mudah menyerah. Mentorku juga bilang, “Fokuslah dengan apa yang kita BISA. Bukan dengan apa yang kita tidak/belum bisa.” Saya sendiri sangat setuju dengan  quote itu. Just do it! Berproses dengan kegigihan. Semesta akan mendukung. Tentang hasil, biarkan Tuhan yang menentukan.

Konsisten. Ia yang konsisten dan yakin betul terhadap mimpinya akan berpotensi besar untuk sukses. Sudah banyak contohnya. Tokoh-tokoh sukses dari berbagai penjuru dunia itu telah membuktikannya. Tidak mudah goyah hanya oleh cibiran orang sekitar, ditertawakan, dan lain-lain. Setiap hari mereka berproses. Bahkan yang sudah kita anggap sukses pun, setiap harinya mereka terus berlatih untuk mempertahankan dan meningkatkan skill. Kekonsistenan ini memang bukan harga yang murah. Butuh usaha yang besar untuk tetap konsisten.

Kesempatan. Setelah berproses dengan gigih dan konsisten, mereka yang sukses juga pintar melihat peluang. Mengambil setiap kesempatan yang datang. Kesempatan bagaikan lampu penerang jalan. Atau plang penunjuk jalan yang harus kita ikuti. Jika kesempatan itu datang, ambil dan lakukan yang terbaik. Kerahkan segala kemampuan yang BISA kamu lakukan. Dan berdoalah.

Bangun. Jika kesempatan telah diambil, namun hasil tak seperti yang kita harapkan, bangun! Teruslah fokus, yakin, gigih, konsisten, dan raih kesempatan selanjutnya. Sedih boleh, tapi sebentar saja. Kecewa boleh, tapi jangan lama-lama. Waktu tidak akan menunggumu berhenti sedih dan kecewa.

Sukses itu mahal. Tidak ada sukses yang dibayar murah. Milikilah mimpi, yakini, dan lakukan usaha terbaik untuknya. Lalu berdoalah.

#MengingatkanDiriSendiri #OneDayOnePost

Mereka Menikah

Bulan ke-9, September, adalah bulan romantis bagi mereka-mereka yang menikah di bulan ini. Iyalahhh. -_- Duh. Jadi begini, ini baru tanggal berapa sih? *liatkalender* Tanggal sembilan. Tapi lihat! Undangan pernikahan berdatangan. Sudah ada lima pasang calon pengantin yang ngasih undangan.

Dua pasang adalah teman yang kukenal di Jogja, dan tiga pasang adalah teman dari Pemalang sini. Turut berbahagia untuk teman-temanku yang telah melepas status lajangnya. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Diberkahi kehidupan rumah tangganya hingga ke jannah.

Tadi siang saya menghadiri salah satu teman lama yang dulu cukup akrab. Namanya Dewi Trisnawaty Herman. Tinggi, cantik, dulu banyak yang ngefans. Oh ya, suaranya imut-imut, gak bisa teriak. Haha. Saya ingat betul, dulu sepulang sekolah (waktu kelas satu SMP) saya pernah main ke rumahnya. Seingatku mau ngerjain PR agama bareng, berdua lebih tepatnya. Tiba di jam makan siang, saya ditawari makan. Malu sebenarnya. Tapi mau gimana lagi, PR-nya belum kelar. Akhirnya kami berdua makan bersama. Lauk sayap ayam yang dimasak kecap. Enaaaak sekali. Mungkin karena lapar juga kali ya. Hahaha.

Hari ini dia menikah dengan seorang pria yang belum pernah kukenal sebelumnya. Selepas SMP kami memang tidak berkomunikasi seintens sebelumnya. Dewi masuk ke SMA yang berbeda denganku. Meski begitu, di tengah kesibukan masing-masing (sok sibuk lu), kami saling menyapa di dunia maya. Kadang juga berpapasan ketika angkotku melewati sekolahnya ketika pulang.

Dewi terlihat menjadi ‘tuan putri’ sehari tadi. Bersanding dengan pria yang terlihat dewasa dari sorot mata dan sikapnya yang kulihat sekilas. Semoga kamu bahagia, Dew. Terima kasih sayap ayamnya.

img-20160909-wa0006
Doc. Ike O.

______

Kota Ikhlas, 9 September 2016

8:05 PM

“HACKER” Jadi Juri MML Songwritings Games

Apa itu MML?

MML adalah bentuk singkat dari Mahir Menulis Lagu. Adalah sebuah perkumpulan orang-orang yang mempunyai minat di bidang pembuatan lagu. Aktivitasnya ramai di sebuah grup facebook “Mahir Menulis Lagu”. Salah satu event rutin yang diadakan setiap bulan adalah MML Songwritings Games. Dengan beberapa tantangan teknis tertentu yang diberikan, para peserta dituntut untuk berusaha dan memberikan karya terbaiknya untuk diikutsertakan dalam event ini.

Sebagai host dadakan yang ditunjuk, saya meminta seorang anak kecil yang sering kusebut “hacker” sebagai juri dadakan pula. Tugasnya adalah mengatakan YES atau NO pada 17 lagu karya peserta yang saya putar.

Bisa disimak di sini https://soundcloud.com/heni-susilo/sets/mml-songwriting-games-episode

Well, inilah ringkasan ulasan dari juri kecil kita tentang karya-karya peserta MML Songwritings Games Episode Ke-21 “Dua Satu”:

  1. Dian Suteja – Cahaya-Mu

Mendengar intronya, alisnya berkerut. Seperti sedang menyelami lagunya. Begitu mendengar suara vokal, dia berujar, “Suaranya lucu!” Dia dengarkan lagunya sampai akhir dengan bibir yang merekah, menyeringai sampai giginya terlihat. Kemudian sampai akhir lagu dia berkata “YES!”

  1. Awan – Sesungguhnya

Mendengar intro, reaksinya hampir sama dengan lagu Cahaya-Mu, dahi mengerut seperti terhanyut oleh nuansa lagunya yang sedih. Begitu mendengar suara vokal, dia tertawa tapi kemudian ditahan. Tapi akhirnya dia berkata “YES!”

  1. Andri Erpe – Mengingat Kau

Hacker mendengarnya dengan mimik serius. Tapi kemudian dia berkata memecah kekhusyukan, “NO!” Ketika kutanyai kenapa No? Dia menjawab “Tidak apa-apa.” Hmmm. Misterius.

  1. Anisjenar – Kembali di Jalan-Mu

Intro yang terdengar jelas dengan suara instrument yang melengking, Hacker langsung menebak, “Ini gitar listrik, ya?” Saya menanggapinya dengan pertanyaan singkat, “Kok tau?” Kemudian dia menjawab, “Jelas itu suara gitar listrik!” Baiklah. Dia memberi “YES!” untuk lagu ini.

  1. Erik Wibowo – Semua Akan Indah pada Waktunya

Mendengar musiknya yang terdengar riang dia langsung menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ada seutas senyum manis dari bibir mungilnya. “YES!” Jawabnya yakin.

  1. Fendi M. – Tempatku Kembali

“Mana suaranya? Lama banget?” Yak, dia menebak si penyanyi sedang mengingat-ingat chord gitar sehingga vokalnya tidak terdengar sampai sekian detik lamanya. “NO!” Maaf Om Fendi…

  1. Heni S. – Merindu-Mu

Dia mendengar sampai terdengar vokalnya. Begitu mendengar suara rendah seorang perempuan, dia berujar “NO!” Jahat sekali dia. Begitu kutanya alasan, lagi-lagi dia menjawab “Tidak apa-apa.” Hmmm. Mungkin takut menyinggung perasaan. Eh, btw, dia tidak tahu kalau ini suara tantenya. Suer! Tapi di akhir penjurian saya bocorkan kalau ini adalah lagu tantenya sendiri. Dan setelah kutanya kenapa NO, akhirnya dia memberi alasan yang jujur dan objektif. “Suaranya rendah, besar, kayak cowok!” Okey, baiklah. -_-

  1. Uwak – Pantaskah

“YES!”

  1. Urip Widodo – Di Pintu-Mu Aku Mengetuk

Mendengar vokal yang langsung muncul di awal lagu dengan gitar yang terdengar jelas, sepertinya dia sedang mengingat-ingat sesuatu. Seperti merasa familiar dengan suara ini. Lalu kemudian dia tersenyum. Senyam-senyum sendiri. Tersipu seperti malu-malu. Entah kenapa. Hahaha. “YES!”

  1. Agung Bhakti Utama – Aku dan Tuhanku

“YES!”

  1. Hizbulloh – Waktuku (Tak Bisa Berpaling)

Begitu mendengar suara vokal, dia langsung berkata “NO!” Kutanya kenapa dengan wajah heran. Dia menjawab, “Suaranya WARWW WARWW!” Ada ada saja. 😀

  1. Ihap – Memohon

“YES!”

  1. Siti Sarah – Tak Kuragukan

“YES!” Sepertinya dia juga tidak meragukan untuk memberikan YES-nya.

  1. Andy Lyan Syah – Hilang Bentuk

Mendengar intronya dia terkaget-kaget, menarik-narik kepalanya ke belakang seirama suara intrument yang berbunyi demikian. Kemudian setelah mendengar suara “Hwiuuwiuuuu” itu, dia langsung menimpali “Kayak suara memanggil burung! Emmm, atau seperti ambulance! NO!” Saya terpingkal.

  1. Heru – Indahnya Hidup Bila Disyukuri

Begitu mendengar suara vokal, dia langsung bilang “NO!” Ketika kutanya kenapa, dia menjawab, “Lha itu sih kayak gitu!” Saya bertanya lagi, “Kayak gitu kenapa?” Dia hanya berkata, “Tidak apa-apa.”

  1. Ibit Iswanda – Renunganku

“NO!” Entah kenapa.

  1. Pong & Indika – Sesalku

Begitu mendengar suara gitar pada intro, air mukanya langsung bahagia. “Kayak suara gitarnya Babe!” Disambung dengan satu kata, “YES!”

Setelah menentukan 10 YES dan sisanya NO, kini saya memintanya untuk menentukan siapa juara 1 dan juara 2nya. Kutanya, “Kamu masih ingat mana mana yang bagus dan tidak menurutmu?”

“Nggak!”

“Baiklah.”

Saya putar lagi lagunya dari atas. Kemudian dia berhenti di lagunya Om Anisjenar “Kembali di Jalan-Mu” dan memilihnya menjadi juara pertama. Wow! Boleh tepuk tangan, kok! 😀

Setelah itu beralih ke lagunya Om Erik Wibowo. Dia tidak memilih ini sebagai juara karena dia tidak suka ada gema atau reverb-nya. Dia menjelaskannya dengan contoh yang pernah kita alami. “Kayak suara waktu nyanyi di ruang tamu semalem!” Oh… Baiklah. Selera memang tidak pernah bohong.

Lalu dia berhenti lagi di lagunya Om Urip Widodo. Dia bertanya, “Yang tadi itu udah ada juara 1, ya?”

“Iya, udah. Emm, apakah kau akan berubah pikiran? Masih boleh ganti kok.”

“Ganti!” Jawabnya dengan yakin. “Yang ini juara 1, yang tadi juara 2.”

Yeay!! Beri tepuk tangan yang meriah!! *prokprokprok* 😀

Lanjut ke lagu-lagu berikutnya, mood-nya sudah hilang. Sepertinya dia mulai kelelahan. Lalu pergi begitu saja meninggalkanku. “Lanjutin Bulik aja!” Hey, ini kan tugasmu… -______-“

Ini adalah penilaian bonus dari Juri Alit yang mempunyai hobi menari dan menikmati lagu. Dengan kriteria yang dia buat sendiri dan tanpa ada pengaruh dari pihak mana pun. Demikian, terima kasih. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan. Hehehe.

Salam SmartHits!

Hacker & Heni

13177103_10206630489386403_6908168302512632722_n

_______

Kota Ikhlas, 23 Juni 2016

3:00 PM

SUSU COKELAT

Telah sekian waktu aku tak menyeduh susu cokelat. Bagaimana tidak? Hawa panas tiada pernah bosan menyelimuti kamar kecilku yang telah dirundung duka karena matinya kipas angin yang bahkan belum berusia satu tahun penuh. Aku merasa sedikit tertipu oleh logo SNI dan harganya yang melangit. Ternyata keduanya tidak serta merta membuat kipas angin yang aku adopsi menjadi berumur panjang.

Dua hari yang lalu hujan angin sempurna membuatku ketakutan. Sebenarnya itu adalah fenomena alam yang cukup wajar. Tetapi entah kenapa hujan kali itu membuatku gusar. Berguling-guling ke kanan dan ke kiri dengan mata tetap terpejam. Tidak ada keseruan mimpi untuk diceritakan pada siang bolong itu. Padahal aku sudah berharap lebih. Ingin sekali menjalani mimpi panjang penuh dengan drama action seperti di film-film.

Pagi hari, sehari setelah hujan angin di siang bolong itu cuaca benar-benar membuat tubuh tipisku menggigil. Kekurangan lemak memang membuat raga ini kurang terlindung dari hawa dingin yang menusuk. Sempurna menyulap kamar kecilku menjadi semacam kamar hotel dengan AC menyala. Nyaman sekali untuk terlelap. Ah, nyaman? Tidak juga. Jika boleh memilih, aku akan mematikan AC-nya dan terlelap seperti biasa dengan selimut yang tipis-tipis hangat.

Dan sehari tadi, ada hujan lagi di bulan Juni tahun ini. Hujan kali ini membuatku tergerak untuk menyeduh sesuatu yang menghangatkan. Setidaknya ini adalah trik khusus bagi gadis-gadis kurus untuk mengusir dingin. Aku bingung, memilih di antara cokelat atau susu cokelat. Setelah berhitung, aku putuskan untuk menyeduh satu sachet susu cokelat yang teronggok cukup lama di tempat penampungan stok minuman instan.

Aku menyobek ujung kanan atas kemasannya dengan jari telunjuk dan jempol tangan kananku. Mengeluarkan cairan kentalnya ke dalam gelas bergagang yang telah kupilih. Air panas dari termos cantik berwarna pink telah sukses membuat cairan kental menjadi larutan keruh berwarna kecokelatan. Kepulan asap masih terlihat jelas oleh mataku yang mulai terkantuk-kantuk. Kuaduk beberapa kali putaran larutan keruh itu dengan sendok yang bergagang seksi. Benar, seksi. Agak meliuk dan berujung lancip.

Mari kita icip rasanya. Apakah sudah sempurna? Satu sendok aku sesap sedikit. Masih terlalu panas untuk ukuran lidahku yang sensitif dengan panas. Aku tambahkan saja air matang dingin dari botol minum tosca-ku yang tertidur di samping pembaringan. Emmm, sepertinya sudah pas. Aku sesap sekali lagi. Hangatnya pas. Akan tetapi … rasanya jadi hambar. Terlalu banyak air membuat larutan ini menjadi kurang bernyawa. Seperti hilang rasa manisnya, hilang pula rasa cokelatnya.

Tapi tetap saja aku harus bertanggungjawab penuh atas perbuatanku malam ini. Tugas menghabiskan susu cokelat harus dijalani dengan penuh rasa syukur. Bukankah setidaknya dinginmu menjadi berkurang? Bukankah setidaknya perutmu menjadi sedikit nyaman? Lalu kau bisa menulis dengan tenang. Menulis? Ah, ini hanya tulisan cakar ayam.

______

Kota Ikhlas, 17 Juni 2016

10:30 PM