DARTI (Full Version)

cover darti

POV Darti

Ada orang di luar!

Aku mengintip dari balik pagar rumah yang bolong. Sinar mentari sedikit banyak menyilaukan mata hingga aku harus menyipit. Menutup sebagian pandangan dengan telapak tangan kiriku.

Mendengar suara-suara manusia yang sedang berbincang membuatku sedikit terusik dari kegiatan rutinku, menyulam. Aku sangat suka menyulam. Menghabiskan banyak waktu dengan mengait dan menghubungkan benang, membentuk sebuah kain dengan motif apa saja yang kusukai. Kali ini aku memilih bunga melati sebagai motif untuk syal biru tua yang sedang kubuat.

“Masih jauh nggak?” tanya pria berkacamata kepada pria berambut keriting di sebelahnya.

“Nggak. Kalau sudah sampai di rumah satu ini, berarti pantai sudah dekat,” jawab pria berambut keriting itu tanpa menoleh. Ia masih fokus mengutak-atik sebuah benda di genggaman tangannya. Aku perhatikan betul benda itu. Sepertinya menarik!

Pria itu membuka sebuah tutup hitam seukuran telur ayam. Dan meletakkannya di samping tas ranselnya. Lalu menempelkan benda hitam yang menarik itu ke mata kanannya. Mengarahkannya ke seekor kupu-kupu cantik yang hinggap di bunga melati yang aku tanam sekitar setahun yang lalu. Tangan kirinya memutar-mutar moncongnya beberapa lama. Dan tangan kanannya menekan tombol di bagian atas dengan telunjuknya.

Angin pantai membuat rambut keriting itu melambai-lambai. Pria itu membuka topinya untuk mengeringkan keringat di kulit kepalanya. Ia meletakkan topi abu-abu itu di samping tasnya, tepat menutupi tutup hitam tadi. Dan kembali mengamati layar. Melihat hasil bidikan kupu-kupu yang kini sudah terbang entah ke mana.

Ingin rasanya aku keluar. Penasaran dengan benda itu. Penasaran dengan gambar-gambar di layar itu. Tapi aku memilih diam. Memainkan ujung rambutku yang dikepang ibu tadi pagi. Tetapi mataku masih tertuju ke benda misterius itu.

Pria si empunya benda itu bangkit setelah memakai topinya lagi. Menggondeng tas ranselnya kembali dan beranjak pergi bersama satu teman seperjalanannya. Meninggalkanku sendiri di balik pagar. Aku hanya bisa menatap punggung pria-pria itu. Sejak tadi mereka juga membelakangiku.

Kesepian kembali merayap, menyusupi hati. Pandanganku kosong menatap bekas tempat yang baru saja diduduki dua pria itu. Dan itu … bukannya tutup hitam benda tadi? Seketika aku keluar dan memastikan. Tertinggal!

Aku mencari sosok dua pria tadi. Sudah tidak ada.

  Baca lebih lanjut

Hilang (Darti – Bagian 10 – TAMAT)

cover darti
POV Diman

“Mahmud, kita bergegas sebelum matahari tenggelam. Kamu tidak mau tersesat, kan?” Aku mempercepat langkah. Rumah itu adalah tujuan utamaku sebelum pulang ke rumah. Perempuan itu … sepertinya aku tahu. Kini aku bisa mengingat setiap garis wajahnya dengan jelas.

“Dim, tadi anjingnya ke mana?” Mahmud menengok ke arah belakang sebentar. Memastikan tidak diikuti anjing lagi.

“Mana ku tahu. Mungkin dia ikut dengan perempuan it … “ Belum sempat kuselesaikan kalimat, aku menghentikan langkah. Mahmud yang berjalan mengekoriku terpaksa menabrak punggungku.

“Kenapa Dim?”

Aku menatap Mahmud. Pikiranku sudah semakin liar. Aku harus segera menemukan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

“Lekaslah, Mud! Kita harus sampai di rumah itu sebelum adzan maghrib berkumandang.”

Gelap mulai merayap. Jalanan semakin tidak terlihat dengan jelas. Matahari yang sedari tadi siang membuat tubuhku berkeringat, kini mulai lenyap. Tertelan oleh garis horisontal di sisi bumi bagian barat.

Aku mengentikan langkah tepat di depan rumah itu. Gundukan tanah tempatku rehat tadi siang kini ada yang menempati. Seorang bapak-bapak sedang memetik bunga melati. Aku hanya bisa melihat punggungnya.

Semerbak aroma melati menusuk-nusuk hidungku. Dingin mulai merayap, menggodai kulit tengkukku yang tak tertutup kain. Entah kenapa aku merinding setiap kali mencium aroma melati di tempat ini.

Aku beranikan menyapa bapak-bapak itu, “Permisi, Pak!”

Lelaki setengah tua itu menoleh. Bola matanya mirip sekali dengan perempuan di pantai tadi. Hitam bulat dengan tatapannya yang dalam.

“Iya, Le. Ada apa?” Suaranya tak kalah dalam dengan tatapannya.

“Maaf, mau tanya, apakah ada seorang perempuan yang tinggal di sini?” Tanganku menunjuk ke arah rumah pagarnya.

“Perempuan?”

“Iya. Rambutnya panjang. Tadi pakai selendang putih ke pantai.”

Bapak itu tersentak kaget mendengar kalimat terakhirku. Tubuhnya mundur sedikit dan matanya menatapku semakin tajam. Bunga melati yang ada di genggamannya jatuh sebagian. Kepalanya menggeleng-geleng seperti tidak percaya.

“Darti … tidak di sini!” Bapak itu terus menggeleng. Aku semakin tidak mengerti.

“Maksud bapak?” Aku dan Mahmud saling menatap.

“Anakku … sudah meninggal!”

Suara adzan berkumandang. Langit berubah kemerahan. Semua sudah terjawab. Darti, perempuan ayu yang sempat muncul di mimpiku tujuh hari yang lalu menyapaku kembali, di sini. Namun kini menghilang seakan tertelan senja. Aroma melati berubah menyesakkan rongga dadaku. Membius seperti gas beracun yang siap membunuhku saat ini juga.

TAMAT

DARTI

 

Deru airnya keruh

Semakin bergemuruh

Kini telah menghilang

Lenyap ditelan petang

 

Melati yang kugenggam

Aromanya menghujam

Semakin dalam, semakin kelam

Semakin dalam, semakin kelam

 

Pergi, pergi, pergi

Aku pergi

Pulang, pulang, pulang

Aku pulang

OST. Darti
https://soundcloud.com/heni-susilo/ost-darti

Kembali (Darti – Bagian 9)

cover darti

POV Darti

“Sudah pulang kamu, Nduk?” Ibu meletakkan nasi yang mengepul di atas meja tanpa menatapku yang berdiri di ambang pintu.

“Bu … “ Aku berkata ragu. “Darti harus kembali.”

Ibu menatap bola mataku yang sedang kosong menatap ke arah lantai.

“Bu … Bolehkah Darti mengajak ibu? Darti takut sendirian. Darti takut kesepian. Darti takut …” Air mataku menetes satu setelah kerjapan pertama.

“Kamu ngomong apa, Nduk?” Ibu kembali sibuk menata lauk pauk. Mengambil satu piring kosong lalu hendak mengisinya dengan nasi untukku.

Aku berjalan ke arahnya. Menahan tangan kanannya yang hendak mengambil nasi. Mendekap lengan atasnya dan bersandar manja di bahunya. Butiran bening sudah tak dapat kutahan-tahan lagi.

Ibu pun urung mengambil nasi. Menarik kursi untukku dan untuknya sendiri. Memegang dengan lembut kedua pipi dan menyeka air mataku dengan kedua jempolnya.

“Darti memilih ibu sebagai permintaan terakhirku.” Aku jatuh ke dalam pelukan ibu.

“Jangan takut, Nduk. Jangan takut.” Tangan ibu mengelus rambutku hingga ke punggung.

Nama (Darti – Bagian 8)

cover darti

POV Diman

Kakiku yang terasa lumpuh kini mulai sedikit bisa digerakkan sejak sosoknya sempurna lenyap dari pandangan. Kuputar badan dan menghadap laut. Ada yang ingin kutanyakan padamu. Siapa perempuan itu? Kau pasti mengenalnya, bukan?

Aku merasa seperti pernah melihatnya. Tapi di mana? Kucoba mengingat beberapa potong kejadian lampau. Mungkin aku pernah melihatnya di sini. Atau mungkin aku pernah berpapasan di suatu tempat. Tapi rasanya tidak. Kuremas kepalaku yang masih rimbun dengan hutan rambut. Mencoba menemukan kepingan puzzle yang mungkin tercecer. Barangkali ada satu keping yang mewakili sosoknya.

“Pulang, yuk!” Suara Diman memecahkan lamunanku. Mengganggu kemesraanku berbincang dengan deru ombak.

Mataku mengerjap cepat mendengar kalimat pendek Mahmud. Yang berujar bahkan melenggang sebelum kuiyakan pintanya. Aku masih ingin di sini. Mungkin beberapa saat lagi. Mungkin sebentar lagi laut akan menjawab pertanyaanku. Atau menjelaskan hal lain kepadaku. Atau menceritakan sebuah misteri yang belum kuketahui sebelumnya. Atau …

Harus kucari tahu namanya.

Kuputar badan dan berlari kecil mengejar Mahmud.

Pulang (Darti – Bagian 7)

cover darti

POV Darti

Aku tidak boleh jatuh cinta. Paras itu, memang seperti pernah kulihat sebelumnya. Entah di mana. Siapa dia? Itu bukan berarti aku boleh dengan mudahnya terpesona, bukan? Lalu berpikir harus memilikinya dan tinggal bersamanya, bukan?

Perjalanan pulang selalu terasa menyedihkan. Pria itu … bisakah menjadi permintaan terakhirku? Tapi, bagaimana dengan ibu? Semakin banyak pertanyaan membuatku semakin gila. Mereka bahkan tak satu pun menemui jawab.

Langkahku semakin terseok, seperti terseret dan tak beraturan. Seakan melayang tak berpijak di bumi. Berhenti di taman depan rumah, kupetik satu kuncup bungan melati untuk kuciumi baunya. Memejamkan mata, menghirup dalam aroma bunga putih itu. Wanginya merasuk memenuhi rongga dada. Menenangkan syaraf ketegangan yang disebabkan oleh serangan tanda tanya.

Aku petik empat lima kuncup lagi untuk kubawa masuk. Kugenggam semuanya dengan tangan kiri, sementara tangan kananku merapikan selendang yang kabur-kabur. Ibu pasti sedang menungguku di dalam.

Perempuan (Darti – Bagian 6)

cover darti

POV Diman

 

Perempuan!

Aku sudah sepenuhnya berdiri tiga detik kemudian setelah melihat ada perempuan di pantai yang sepi ini. Dari mana dia?

Kebaya merah berpadu dengan kain lurik berwarna dasar putih dan bermotif cokelat telah sukses membalut tubuh perempuan misterius di depanku. Selenjang ia biarkan menjuntai di pasir. Sesekali tertiup angin laut yang berhembus lembut. Ombak masih saja berbisik di telingaku.

Aku beranikan untuk menyapa meski ada sedikit ragu yang tersisa.

“Maaf …” Suaraku setengah lirih namun berat karena pita suara yang belum begitu banyak kugunakan hari ini. Perempuan itu menoleh agak cepat. Mungkin terkejut. Lalu mengangguk dengan santun.

Oh, wajah itu … seperti pernah kulihat sebelumnya. Entah di mana. Bola mata bulat dengan tatapan teduh menenangkan. “Mbak datang sendirian ke sini?” Kuputar pandanganku ke segala arah. Mencari orang atau siapa pun yang mungkin menemani perempuan ayu ini.

“Saya tinggal di sana.” Jarinya menunjuk ke arah utara. “Engg, ini. Mau mengembalikan ini.” Ia menyerahkan sebuah benda hitam gepeng bundar. Aku ambil dengan hati-hati agar tak menyentuh tangannya.

“Oh, lho. Tertinggal?” Ini kan tutup lensa kamera milikku. Aku membolak-balikkannya sebentar. Memastikan lagi. Bagaimana bisa? “Terima kasih.”

Ia mengangguk untuk yang kedua kalinya. Merapikan selendangnya lalu beranjak pergi. Aku ingin menyusulnya, tapi kakiku tertahan. Seperti menancap ke bumi. Perempuan itu … siapa?

Bertemu (Darti – Bagian 5)

cover darti

POV Darti

Pasir putih masih bersih. Hanya ada satu baris jejak kakiku sendiri yang memanjang di belakangku. Ke mana mereka pergi?

Sejenak aku menikmati angin pantai yang berbisik di telinga. Memandang ke laut luas di depanku adalah hal yang selalu bisa kunikmati. Begitu dalam dan menenangkan sanubari. Kupejamkan mata untuk memaknainya lebih intim. Rasa-rasanya, aku dan laut adalah dua hal yang tak bisa lagi dipisahkan. Aku adalah laut. Laut adalah aku.

“Maaf.”  Suara seseorang mengagetkanku dari arah belakang. Memaksaku harus membuka mata dan menengok. Aku mengangguk dan langsung menunduk.

Pria itu.

Wajahnya, seperti pernah kulihat sebelumnya. Entah di mana.

“Mbak … datang sendirian?” Pria itu memutar pandangan ke segala arah. Memastikan tidak ada orang lain lagi selain kami bertiga.

“Saya tinggal di sana.” Jariku menunjuk ke arah rumahku. Satu-satunya rumah yang berada di daerah sini. “Engg, ini. Mau mengembalikan ini.” Aku menyerahkan benda gepeng hitam itu kepada pria di depanku.

“Oh. Lho? Tertinggal?” Dia nampak kebingungan. Menerima benda hitam itu dariku. Mengapitnya dengan jari telunjuk dan jempol. Membolak-baliknya dengan singkat lalu menatapku. “Terima kasih.”

Aku mengangguk untuk yang kedua kalinya. Merapikan selendangku, lalu beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Langkah yang sedikit tergesa karena malu. Tidak berani menengok ke belakang untuk memberikan lambaian tangan atau seutas senyum perpisahan.

Hatiku serasa entah. Seperti ada sedikit desiran. Hanya sedikit.

Sampai (Darti – Bagian 4)

cover darti

POV Diman

Suara ombak mulai terdengar. Itu artinya tidak lama lagi kami sampai ke bibir pantai. Tiba-tiba ada seekor anjing yang mendekat. Bulunya hitam, tatapan matanya tajam. Menggonggong melihat kami dari jarak lima meter di depannya. Aku berusaha tampil setenang mungkin.

“Mud, buang tongkatmu!”

Mahmud kaget dan segera membuang tongkat kayu pendek yang membantunya selama berjalan. “Kenapa harus dibuang?”

“Anjing itu akan melawan jika kamu bawa tongkat. Ia akan menganggapmu musuh! Tenangkan dirimu dan berjalanlah.” Aku tahu Mahmud menahan napasnya.

Dan benar. Anjing itu berhenti menggonggong. Akan tetapi, ia mengikuti kami di belakang. Mungkin bermaksud mengantar.

Sesampainya di bibir pantai, aku tidak langsung mengajak Mahmud menciumi air tetapi langsung menarik tangannya masuk ke sebuah gua tepat di sisi kubangan air tawar muara dari sumber mata air yang kami temui di jalan.

Di mulut gua, aku duduk meluruskan kaki. Mahmud melakukan hal yang sama tanpa kuperintah. Aku membuka topi, melepas ransel, dan mencari air minumku di dalam tas. Kamera masih aman di depan dadaku, menggantung dari leher.

“Sebentar lagi kita akan meditasi dulu di sini,” jelasku usai menenggak lima tegukan air.

“Dim, Dim! Anjingnya!” Mahmud teriak setengah berbisik.

Anjing itu tepat duduk di luar mulut gua. Menatap ke arah laut, membelakangi kami. Entah apa yang ada di pikirannya.

“Tenang! Tidak apa-apa. Dia baik kok.” Aku mulai menyilakan kaki. Melepaskan kamera yang menggantung dan meletakkannya di atas ransel. Menegakkan punggung, mengatur napas. Kedua tangan kuletakkan di atas pangkuan dengan posisi telapak tangan mengarah ke atas. Kusatukan jempol dengan jari telunjuk.

“Mari kita mulai!” kataku pada Mahmud sebelum memejamkan mata.

“Siap!” Mahmud membuang napasnya mengusir rasa takut yang tersisa.

Angin laut menerpa kedua pipiku. Suara gulungan ombak menampar-nampar batu karang. Tidak ada suara lain selainnya. Sepi. Pantai ini benar-benar serasa milik kami berdua. Aku mulai menghitung napasku sendiri. Menarik, menahan, dan membuang napas dengan keteraturan yang sudah aku perhitungkan.

Belum sampai lima menit, Mahmud menepuk pahaku sedikit keras.

“Dim! Lihat!”

Aku membuka mata dengan terpaksa dan ingin memaki Mahmud sebelum pandanganku memergoki sebuah sosok.

Perempuan.

Mencari (Darti – Bagian 3)

cover darti

POV Darti

Tertinggal!

Aku mencari sosok dua pria itu. Sudah tidak ada. Aku yakin benda ini milik pria berambut keriting tadi. Benda gepeng hitam bulat ini ternyata ada tulisannya. Hanya ada satu kata yang timbul dengan jelas di satu sisinya. Kumengeja dalam hati, tapi aku tak tahu artinya. Seperti kata dalam bahasa asing.

Aku genggam benda itu di tangan kananku. Bergegas masuk ke rumah dan memakai selendang putih. Ibu yang sedang memasak daun singkong heran melihatku terburu-buru.

“Mau ke mana, Nduk?”

“Darti harus ke pantai, Bu. Ada barang orang yang tertinggal.” Aku menunjukkan benda gepeng itu kepada ibu.

“Apa ini, Nduk?”

Aku menggeleng.

Ibu perhatikan sebentar benda itu. Tidak mengerti. Dan menyerahkannya kembali kepadaku. Aku pun tergopoh menuju ke arah pantai. Orang-orang itu, cepat sekali mereka berjalan.

Hingga sampai ke bibir pantai, aku mengitari pandangan. Dua tebing tinggi yang mengapit Pantai Greweng nampak gagah berdiri. Tidak ada sosok pria keriting yang memegang benda hitam seperti yang kulihat tadi.

Pantai ini sepi. Hanya debur ombak dan suara angin saja yang terdengar. Selendangku menari-nari dirayu para bayu. Aku duduk di atas pasir putih yang sudah kering. Memutar bola mataku sekali lagi. Pasir putih masih bersih. Hanya ada satu baris jejak kakiku sendiri yang memanjang di belakangku. Ke mana mereka pergi?

Berkunjung (Darti – Bagian 2)

cover darti
POV Diman

“Parkir di sini, kita lanjut jalan kaki.” Aku memarkir sepeda kumbang milik kakek yang aku pinjam selama berlibur di Jogja. Pantai Greweng adalah salah satu pantai perawan yang ingin kukunjungi. Pantai dengan sejuta pesona. Menyihir siapa saja yang pernah berkunjung ke sana untuk kembali menemuinya. Dua tebing tinggi di sisi kanan dan kiri membuat pantai ini seperti pintu gerbang istana laut.

Tak elok rasanya jika berkunjung ke Jogja tetapi tidak mampir ke sini. Kuajak Mahmud, sahabat kecilku untuk menemani berkelana. Menyusuri bukit semi hutan hanya untuk menikmati pemandangan alam yang menakjubkan itu.

Memarkir sepeda di dekat ladang tebu kurasa cukup aman. Penduduk sini tidak bakal ada yang berbuat sejahat itu. Mereka sibuk berladang dan beternak sapi.

Dengan memakai sandal gunung, menggendong tas ransel, dan topi abu-abu aku siap menjelajah. Mahmud yang asli sini malah tidak membawa apa-apa kecuali botol minum. Belum tahu dia, perjalanan ini bahkan membutuhkan minyak kayu putih untuk mengusir nyamuk. Makanan berenergi untuk mengisi perut. Dan kamera untuk mengambil gambar. Sayang jika tidak mendokumentasikannya.

Mahmud asli sini memang, tapi penjelajahan ke pantai tidak pernah menjadi minatnya. Ia lebih suka berkutat dengan hewan-hewan peliharaannya di rumah. Ada kucing, tupai, kelinci, bahkan iguana dan ular ia juga suka.

“Ngapain sih kita harus repot-repot ke sini, Dim?” gerutu Mahmud saat aku memberikan gambaran perjalanan yang akan kami lalui.

“Udah. Lihat aja nanti! Kamu hanya perlu fokus dan jangan ngomong sembarangan di tempat ini.”

Aku sengaja mengajaknya ke pantai. Agar ia tahu bagaimana nikmatnya mengenali alam. Menyapanya sembari memuji Yang Mencipta. Seperti saat ia mengagumi hewan-hewannya.

Setapak dua tapak kami pun mulai menyusuri bukit. Kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon dan semak. Sebagiannya lagi adalah ladang dan kebun. Sesekali kami berpapasan dengan sapi-sapi yang sedang sarapan pagi. Menyapa kami dengan suaranya yang khas dan berkarakter. Ada pula bapak-bapak yang sedang mencari rumput untuk ternaknya. Saling senyum dan berbalas sapa menjadi ritual yang menyenangkan.

Pantai ini memang spesial. Keindahannya tersembunyi begitu dalam. Elok seperti gadis pingitan yang tak banyak dilihati mata manusia. Untuk menemuinya, kami harus melewati jalan setapak yang menantang. Aku berjaga-jaga membawa benda tajam jika kami tersesat dan terpaksa harus membuka medan yang masih dipenuhi semak lebat.

Di tengah perjalanan, kami menemui gua di sisi kanan jalan. Dan sisi kirinya didapati sebuah kubangan air. Itu adalah sumber mata air daerah ini. Air tawar ini mengalir hingga ke bibir pantai. Itulah salah satu yang istimewa dari Pantai Greweng. Kami bisa menikmati air asin dan air tawar di tempat yang berdekatan.

“Ini beneran tawar, Dim?”

“Cobain aja!”

Mahmud mencuci mukanya dan meminum sebagian air tawar itu. Tak lupa ia memenuhi botol minumnya yang tinggal seperempat. Aku melakukan hal yang sama.

“Setelah ini kita bisa rehat di dekat rumah penduduk. Hanya ada satu rumah di sini,” jelasku sambil memasukkan botol minum ke dalam ransel.

Beberapa meter kemudian kami dapati sebuah rumah kecil dengan taman yang cukup rindang. Rumah pagar sederhana yang terlihat tua tapi menyenangkan karena di depannya ditumbuhi bunga-bungaan. Salah satu bunga yang kusukai adalah melati. Ia sederhana, berkelopak kecil dan putih. Namun wanginya menenangkan. Bunga simpel yang menawan.

Aku duduk di sebuah gundukan tanah kosong di sekitar tanaman melati. Melepas lelah setelah perjalanan yang cukup menguras tenaga. Meletakkan ransel di sisi kanan. Sisi kanannya lagi ada Mahmud yang sedang melepas peluh di dahinya.

“Masih jauh nggak?” tanya Mahmud.

“Nggak. Kalau sudah sampai di rumah satu ini, berarti pantai sudah dekat,” jawabku tanpa menoleh. Ada yang lebih menarik dari wajah Mahmud. Seekor kupu cantik hinggap di bunga melati tidak jauh dari tempatku duduk. Segera kubuka tutup lensa kamera, meletakkannya sembarang dan kubidik kupu cantik itu sebelum ia pergi.

Dapat!

Kulihat hasilnya di layar. Tidak buruk.

Kulepas topi abu agar keringat di kulit kepala dan dahi menguap ke udara. Tidak lama setelahnya, aku mengajak Mahmud melanjutkan perjalanan. Kurasa kami bisa sekalian istirahat di tempat tujuan. Kupakai topi lagi dan tergesa menggondang ransel. Beranjak meninggalkan rumah pagar dengan sejuta bunga melati.