cover darti

POV Diman

Suara ombak mulai terdengar. Itu artinya tidak lama lagi kami sampai ke bibir pantai. Tiba-tiba ada seekor anjing yang mendekat. Bulunya hitam, tatapan matanya tajam. Menggonggong melihat kami dari jarak lima meter di depannya. Aku berusaha tampil setenang mungkin.

“Mud, buang tongkatmu!”

Mahmud kaget dan segera membuang tongkat kayu pendek yang membantunya selama berjalan. “Kenapa harus dibuang?”

“Anjing itu akan melawan jika kamu bawa tongkat. Ia akan menganggapmu musuh! Tenangkan dirimu dan berjalanlah.” Aku tahu Mahmud menahan napasnya.

Dan benar. Anjing itu berhenti menggonggong. Akan tetapi, ia mengikuti kami di belakang. Mungkin bermaksud mengantar.

Sesampainya di bibir pantai, aku tidak langsung mengajak Mahmud menciumi air tetapi langsung menarik tangannya masuk ke sebuah gua tepat di sisi kubangan air tawar muara dari sumber mata air yang kami temui di jalan.

Di mulut gua, aku duduk meluruskan kaki. Mahmud melakukan hal yang sama tanpa kuperintah. Aku membuka topi, melepas ransel, dan mencari air minumku di dalam tas. Kamera masih aman di depan dadaku, menggantung dari leher.

“Sebentar lagi kita akan meditasi dulu di sini,” jelasku usai menenggak lima tegukan air.

“Dim, Dim! Anjingnya!” Mahmud teriak setengah berbisik.

Anjing itu tepat duduk di luar mulut gua. Menatap ke arah laut, membelakangi kami. Entah apa yang ada di pikirannya.

“Tenang! Tidak apa-apa. Dia baik kok.” Aku mulai menyilakan kaki. Melepaskan kamera yang menggantung dan meletakkannya di atas ransel. Menegakkan punggung, mengatur napas. Kedua tangan kuletakkan di atas pangkuan dengan posisi telapak tangan mengarah ke atas. Kusatukan jempol dengan jari telunjuk.

“Mari kita mulai!” kataku pada Mahmud sebelum memejamkan mata.

“Siap!” Mahmud membuang napasnya mengusir rasa takut yang tersisa.

Angin laut menerpa kedua pipiku. Suara gulungan ombak menampar-nampar batu karang. Tidak ada suara lain selainnya. Sepi. Pantai ini benar-benar serasa milik kami berdua. Aku mulai menghitung napasku sendiri. Menarik, menahan, dan membuang napas dengan keteraturan yang sudah aku perhitungkan.

Belum sampai lima menit, Mahmud menepuk pahaku sedikit keras.

“Dim! Lihat!”

Aku membuka mata dengan terpaksa dan ingin memaki Mahmud sebelum pandanganku memergoki sebuah sosok.

Perempuan.

6 pemikiran pada “Sampai (Darti – Bagian 4)

Tinggalkan komentar