POV Diman
“Mahmud, kita bergegas sebelum matahari tenggelam. Kamu tidak mau tersesat, kan?” Aku mempercepat langkah. Rumah itu adalah tujuan utamaku sebelum pulang ke rumah. Perempuan itu … sepertinya aku tahu. Kini aku bisa mengingat setiap garis wajahnya dengan jelas.
“Dim, tadi anjingnya ke mana?” Mahmud menengok ke arah belakang sebentar. Memastikan tidak diikuti anjing lagi.
“Mana ku tahu. Mungkin dia ikut dengan perempuan it … “ Belum sempat kuselesaikan kalimat, aku menghentikan langkah. Mahmud yang berjalan mengekoriku terpaksa menabrak punggungku.
“Kenapa Dim?”
Aku menatap Mahmud. Pikiranku sudah semakin liar. Aku harus segera menemukan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
“Lekaslah, Mud! Kita harus sampai di rumah itu sebelum adzan maghrib berkumandang.”
Gelap mulai merayap. Jalanan semakin tidak terlihat dengan jelas. Matahari yang sedari tadi siang membuat tubuhku berkeringat, kini mulai lenyap. Tertelan oleh garis horisontal di sisi bumi bagian barat.
Aku mengentikan langkah tepat di depan rumah itu. Gundukan tanah tempatku rehat tadi siang kini ada yang menempati. Seorang bapak-bapak sedang memetik bunga melati. Aku hanya bisa melihat punggungnya.
Semerbak aroma melati menusuk-nusuk hidungku. Dingin mulai merayap, menggodai kulit tengkukku yang tak tertutup kain. Entah kenapa aku merinding setiap kali mencium aroma melati di tempat ini.
Aku beranikan menyapa bapak-bapak itu, “Permisi, Pak!”
Lelaki setengah tua itu menoleh. Bola matanya mirip sekali dengan perempuan di pantai tadi. Hitam bulat dengan tatapannya yang dalam.
“Iya, Le. Ada apa?” Suaranya tak kalah dalam dengan tatapannya.
“Maaf, mau tanya, apakah ada seorang perempuan yang tinggal di sini?” Tanganku menunjuk ke arah rumah pagarnya.
“Perempuan?”
“Iya. Rambutnya panjang. Tadi pakai selendang putih ke pantai.”
Bapak itu tersentak kaget mendengar kalimat terakhirku. Tubuhnya mundur sedikit dan matanya menatapku semakin tajam. Bunga melati yang ada di genggamannya jatuh sebagian. Kepalanya menggeleng-geleng seperti tidak percaya.
“Darti … tidak di sini!” Bapak itu terus menggeleng. Aku semakin tidak mengerti.
“Maksud bapak?” Aku dan Mahmud saling menatap.
“Anakku … sudah meninggal!”
Suara adzan berkumandang. Langit berubah kemerahan. Semua sudah terjawab. Darti, perempuan ayu yang sempat muncul di mimpiku tujuh hari yang lalu menyapaku kembali, di sini. Namun kini menghilang seakan tertelan senja. Aroma melati berubah menyesakkan rongga dadaku. Membius seperti gas beracun yang siap membunuhku saat ini juga.
TAMAT
DARTI
Deru airnya keruh
Semakin bergemuruh
Kini telah menghilang
Lenyap ditelan petang
Melati yang kugenggam
Aromanya menghujam
Semakin dalam, semakin kelam
Semakin dalam, semakin kelam
Pergi, pergi, pergi
Aku pergi
Pulang, pulang, pulang
Aku pulang
OST. Darti
https://soundcloud.com/heni-susilo/ost-darti
oalaahhh….darti.ooh darti
hehehe, terima kasih cekgu.. sudah mengikuti cerita ini 😀