KETIKA SI INTROVERT MENJADI MC

Riuh tepuk tangan membahana dalam sebuah ruang memanjang. Wujud kecil nyata apresiasi terhadap penampilan anak-anaknya di atas panggung. Seorang MC perempuan tak mau kalah turut mengapresiasi dengan kalimat positifnya.

“Eh, Mbak. Itu siapa yang jadi MC? Kayak Kenal,” tanya seorang wali murid kepada wanita di sampingnya.

“Itu Lusi. Temen seangkatanmu, kan?” jawab si wanita yang merupakan kakak kandung dari MC di depan.

“Oalah. Iya, SDnya bareng, Mbak. Kok bisa gitu? Kayaknya dulu pendiam banget. Jarang ngomong. Gak nyangka bisa ngomong di depan orang banyak.” Ia mencondongkan tubuhnya, menajamkan mata untuk melihat lebih jelas raut si MC yang sedang mempersilakan penampil berikutnya.

MC itu memegang mic-nya dengan mantap. Menatap penonton dengan mantap. Meluncurkan kalimat-kalimatnya dengan mantap. Tapi siapa tahu kakinya gemetar atau jempol kakinya sedang bergoyang melawan rasa grogi yang mendera.

 20160604_080115

_____

Kota Ikhlas, 5 Juni 2016

7:08 AM

DARTI (Full Version)

cover darti

POV Darti

Ada orang di luar!

Aku mengintip dari balik pagar rumah yang bolong. Sinar mentari sedikit banyak menyilaukan mata hingga aku harus menyipit. Menutup sebagian pandangan dengan telapak tangan kiriku.

Mendengar suara-suara manusia yang sedang berbincang membuatku sedikit terusik dari kegiatan rutinku, menyulam. Aku sangat suka menyulam. Menghabiskan banyak waktu dengan mengait dan menghubungkan benang, membentuk sebuah kain dengan motif apa saja yang kusukai. Kali ini aku memilih bunga melati sebagai motif untuk syal biru tua yang sedang kubuat.

“Masih jauh nggak?” tanya pria berkacamata kepada pria berambut keriting di sebelahnya.

“Nggak. Kalau sudah sampai di rumah satu ini, berarti pantai sudah dekat,” jawab pria berambut keriting itu tanpa menoleh. Ia masih fokus mengutak-atik sebuah benda di genggaman tangannya. Aku perhatikan betul benda itu. Sepertinya menarik!

Pria itu membuka sebuah tutup hitam seukuran telur ayam. Dan meletakkannya di samping tas ranselnya. Lalu menempelkan benda hitam yang menarik itu ke mata kanannya. Mengarahkannya ke seekor kupu-kupu cantik yang hinggap di bunga melati yang aku tanam sekitar setahun yang lalu. Tangan kirinya memutar-mutar moncongnya beberapa lama. Dan tangan kanannya menekan tombol di bagian atas dengan telunjuknya.

Angin pantai membuat rambut keriting itu melambai-lambai. Pria itu membuka topinya untuk mengeringkan keringat di kulit kepalanya. Ia meletakkan topi abu-abu itu di samping tasnya, tepat menutupi tutup hitam tadi. Dan kembali mengamati layar. Melihat hasil bidikan kupu-kupu yang kini sudah terbang entah ke mana.

Ingin rasanya aku keluar. Penasaran dengan benda itu. Penasaran dengan gambar-gambar di layar itu. Tapi aku memilih diam. Memainkan ujung rambutku yang dikepang ibu tadi pagi. Tetapi mataku masih tertuju ke benda misterius itu.

Pria si empunya benda itu bangkit setelah memakai topinya lagi. Menggondeng tas ranselnya kembali dan beranjak pergi bersama satu teman seperjalanannya. Meninggalkanku sendiri di balik pagar. Aku hanya bisa menatap punggung pria-pria itu. Sejak tadi mereka juga membelakangiku.

Kesepian kembali merayap, menyusupi hati. Pandanganku kosong menatap bekas tempat yang baru saja diduduki dua pria itu. Dan itu … bukannya tutup hitam benda tadi? Seketika aku keluar dan memastikan. Tertinggal!

Aku mencari sosok dua pria tadi. Sudah tidak ada.

  Baca lebih lanjut

Hilang (Darti – Bagian 10 – TAMAT)

cover darti
POV Diman

“Mahmud, kita bergegas sebelum matahari tenggelam. Kamu tidak mau tersesat, kan?” Aku mempercepat langkah. Rumah itu adalah tujuan utamaku sebelum pulang ke rumah. Perempuan itu … sepertinya aku tahu. Kini aku bisa mengingat setiap garis wajahnya dengan jelas.

“Dim, tadi anjingnya ke mana?” Mahmud menengok ke arah belakang sebentar. Memastikan tidak diikuti anjing lagi.

“Mana ku tahu. Mungkin dia ikut dengan perempuan it … “ Belum sempat kuselesaikan kalimat, aku menghentikan langkah. Mahmud yang berjalan mengekoriku terpaksa menabrak punggungku.

“Kenapa Dim?”

Aku menatap Mahmud. Pikiranku sudah semakin liar. Aku harus segera menemukan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

“Lekaslah, Mud! Kita harus sampai di rumah itu sebelum adzan maghrib berkumandang.”

Gelap mulai merayap. Jalanan semakin tidak terlihat dengan jelas. Matahari yang sedari tadi siang membuat tubuhku berkeringat, kini mulai lenyap. Tertelan oleh garis horisontal di sisi bumi bagian barat.

Aku mengentikan langkah tepat di depan rumah itu. Gundukan tanah tempatku rehat tadi siang kini ada yang menempati. Seorang bapak-bapak sedang memetik bunga melati. Aku hanya bisa melihat punggungnya.

Semerbak aroma melati menusuk-nusuk hidungku. Dingin mulai merayap, menggodai kulit tengkukku yang tak tertutup kain. Entah kenapa aku merinding setiap kali mencium aroma melati di tempat ini.

Aku beranikan menyapa bapak-bapak itu, “Permisi, Pak!”

Lelaki setengah tua itu menoleh. Bola matanya mirip sekali dengan perempuan di pantai tadi. Hitam bulat dengan tatapannya yang dalam.

“Iya, Le. Ada apa?” Suaranya tak kalah dalam dengan tatapannya.

“Maaf, mau tanya, apakah ada seorang perempuan yang tinggal di sini?” Tanganku menunjuk ke arah rumah pagarnya.

“Perempuan?”

“Iya. Rambutnya panjang. Tadi pakai selendang putih ke pantai.”

Bapak itu tersentak kaget mendengar kalimat terakhirku. Tubuhnya mundur sedikit dan matanya menatapku semakin tajam. Bunga melati yang ada di genggamannya jatuh sebagian. Kepalanya menggeleng-geleng seperti tidak percaya.

“Darti … tidak di sini!” Bapak itu terus menggeleng. Aku semakin tidak mengerti.

“Maksud bapak?” Aku dan Mahmud saling menatap.

“Anakku … sudah meninggal!”

Suara adzan berkumandang. Langit berubah kemerahan. Semua sudah terjawab. Darti, perempuan ayu yang sempat muncul di mimpiku tujuh hari yang lalu menyapaku kembali, di sini. Namun kini menghilang seakan tertelan senja. Aroma melati berubah menyesakkan rongga dadaku. Membius seperti gas beracun yang siap membunuhku saat ini juga.

TAMAT

DARTI

 

Deru airnya keruh

Semakin bergemuruh

Kini telah menghilang

Lenyap ditelan petang

 

Melati yang kugenggam

Aromanya menghujam

Semakin dalam, semakin kelam

Semakin dalam, semakin kelam

 

Pergi, pergi, pergi

Aku pergi

Pulang, pulang, pulang

Aku pulang

OST. Darti
https://soundcloud.com/heni-susilo/ost-darti

Kembali (Darti – Bagian 9)

cover darti

POV Darti

“Sudah pulang kamu, Nduk?” Ibu meletakkan nasi yang mengepul di atas meja tanpa menatapku yang berdiri di ambang pintu.

“Bu … “ Aku berkata ragu. “Darti harus kembali.”

Ibu menatap bola mataku yang sedang kosong menatap ke arah lantai.

“Bu … Bolehkah Darti mengajak ibu? Darti takut sendirian. Darti takut kesepian. Darti takut …” Air mataku menetes satu setelah kerjapan pertama.

“Kamu ngomong apa, Nduk?” Ibu kembali sibuk menata lauk pauk. Mengambil satu piring kosong lalu hendak mengisinya dengan nasi untukku.

Aku berjalan ke arahnya. Menahan tangan kanannya yang hendak mengambil nasi. Mendekap lengan atasnya dan bersandar manja di bahunya. Butiran bening sudah tak dapat kutahan-tahan lagi.

Ibu pun urung mengambil nasi. Menarik kursi untukku dan untuknya sendiri. Memegang dengan lembut kedua pipi dan menyeka air mataku dengan kedua jempolnya.

“Darti memilih ibu sebagai permintaan terakhirku.” Aku jatuh ke dalam pelukan ibu.

“Jangan takut, Nduk. Jangan takut.” Tangan ibu mengelus rambutku hingga ke punggung.

Legenda Danau Toba (Remaking Folklore)

“Maukah kau menikah denganku, Putri?” Lelaki itu berlutut sambil menyerahkan cincin yang ia buat dari rumput liar.

“Emmm, aku mau. Asalkan kau penuhi satu permintaanku,” kata Putri sambil menatap cincin itu tanpa menyentuhnya.

“Apapun itu, akan aku penuhi. Katakanlah!” Lelaki yang sedari tadi menatap tanah kini mendongak, menatap gadis ayu yang berdiri di depannya.

***

Matahari mulai condong ke arah barat. Udara panas yang sedari tadi siang menyelimuti tubuh bumi kini berangsur sejuk. Gemericik air sungai sedikit banyak menghibur hati pemuda yang sedang gundah gulana. Dari siang ia hanya menghabiskan waktunya dengan memegang alat pancing yang tak jua dilirik seekor ikan pun. Seperti hatinya yang tak jua dijatuhi cinta seorang gadis pun.

“Tuhan, dekatlkanlah jodohku, segera. Galau ini hampir membunuhku!” Pemuda itu menatap langit dengan hati penuh harap.

Awan seketika berkumpul menggulung-gulung. Langit berubah gelap. Guntur saling bersahutan. Kilat menyambar membelah angkasa. Di waktu yang bersamaan, umpan di ujung alat pancing milik pemuda itu seperti ada yang menarik dari dalam air. Berat dan semakin berat.

“Ikan!” Mata pemuda itu membulat berubah menjadi begitu antusias. Ia tarik pemancing itu dengan sekuat tenaga. Tangan kanannya terus memutar-mutar tali, tangan kirinya memegang erat sambil menariknya ke belakang.

“Ini pasti ikan besar!” Tubuh pemuda itu hampir terjatuh ke belakang. Ikan itu akhirnya bisa ia angkat ke darat.

Dengan mata berbinar-binar ia melepas kail dari mulut si ikan. Tetapi mata ikan yang mengerling cantik telah mengalihkan dunianya.

Cantik sekali … ah, tidak mungkin aku jatuh sinta sama ikan! Ia segera menampik perasaannya sendiri dan bersegera melepas kailnya. Memasukkannya ke ember berisi sedikit air.

Merasa sudah letih, ia putuskan untuk pulang. Cukuplah satu ikan itu ia bawa untuk makan malamnya nanti.

Sesampainya di rumah ia berencana ingin membersihkan ikan itu untuk kemudian ia panggang. Tetapi karena keindahan mata dan keelokan sisik ikan yang bersinar, ia tidak tega. Urung melakukannya. Memilih lapar dan membawa ikan itu untuk ia masukkan ke tempat penampungan air di kamar mandi.

Ikan itu terlihat senang. Berenang ke sana ke mari kegirangan. Begitu pun dengan pemuda itu. Meski perutnya lapar, matanya memancarkan kebahagiaan. Hatinya yang galau terlupakan dengan kehadiran ikan cantik dari sungai.

Ikan itu terus berlarian memutari kolam. Dan tiba-tiba ia meloncat ke udara. Dan mendarat di lantai kamar mandi. Berubah wujud menjadi putri cantik. Putri dengan bola mata bulat mngerling indah. Rambutnya kecoklatan, serasi dengan warna kulitnya yang langsat.

Seketika itu lelaki pencari ikan terlonjak. Setengah bola matanya menyembul keluar, seperti mau loncat. Mulutnya menganga, kedua alisnya menyatu. Seperti diambil tulangnya, tubuh lelaki itu melemas, hampir saja terkulai sebelum ia berpegangan tepi kolam mencari kekuatan.

“Ka … kamu? Si siapa?” lelaki itu berusaha bertanya meski terbata.

“Aku putri ikan. Penghuni sungai yang sering kau jadikan tempat memancing dan merenung. Kamu Toba, kan? Pemuda galau yang sedang mencari cinta!” Kalimat panjangnya terdengar merdu dan diiringi tawa menggodai Si Toba, pemuda pencari ikan.

“Da, darimana kau ta tau?”

“Aku tau semuanya. Bahkan aku mendengar doamu kepada Tuhan sore tadi.”

Tidak pernah menyangka, seorang pemuda yang kesepian sejak lama tiba-tiba didatangi seorang putri cantik. Terpaksa Toba memberikan dipan tempat tidurnya untuk Putri Ikan. Sedangkan ia tidur di luar.

Lambat laun mereka berdua mulai terbiasa berinteraksi layaknya sesama manusia. Memasak, membersihkan rumah, dan berkebun bersama mampu menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka. Hingga pada sebuah kesempatan, Toba melamar gadis ikan untuk dijadikan istri.

“Maukah kau menikah denganku, Putri?” Lelaki itu berlutut sambil menyerahkan cincin yang ia buat dari rumput liar.

“Emmm, aku mau. Asalkan kau penuhi satu permintaanku,” kata Putri sambil menatap cincin itu tanpa menyentuhnya.

“Apapun itu, akan aku penuhi. Katakanlah!” Lelaki yang sedari tadi menatap tanah kini mendongak, menatap gadis ayu yang berdiri di depannya.

“Jangan pernah tinggalkan aku atau musibah besar akan datang dan menenggelamkan semuanya!”

“Tentu aku akan memenuhinya.”

Janji itu telah di dengar oleh langit dan penghuninya.

Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Anak satu-satunya itu diperlakukan sangat istimewa oleh orangtuanya hingga menjadi manja dan semua keinginannya wajib dituruti.

Toba mulai kewalahan memenuhi segala keinginan anaknya. Hingga ia putuskan untuk pergi mencari harta yang lebih banyak. Istrinya jelas tidak setuju dengan keputusan itu. Tetapi Toba tetap melakukannya. Ia berpamitan dengan anak istrinya dan berjanji akan kembali jika sudah waktunya.

Malam-malam panjang dilalui oleh Putri Ikan dan anaknya. Begitu sesak menahan rindu dan yang paling menyakitkan adalah ia tidak mendapat kabar sedikitpun dari suami yang sangat dicintainya itu.

Pada suatu hari Putri Ikan mengajak anaknya menuju sungai tempat pertama kali suaminya menemukannya dan membawa pulang. Di sana Putri Ikan merenung dan mengadu kepada langit dan penghuninya. Segala air mata tumpah. Sesak penantian bertahun-tahun ia tumpahkan semuanya di hari itu. Sambil terus memeluk anaknya, Putri Ikan menangis tersedu. Terus menangis hingga air matanya menambah volum air sungai.

Air sungai meluap dan meluap. Terus seperti itu hingga Putri Ikan dan anaknya tenggelam oleh air matanya sendiri. Hanya kepala sang anak yang menyembul ke permukaan air. Wilayah sekeliling sungai telah rata digenangi air mata Putri Ikan.

Dari cerita ini muncullah nama Danau Toba dan Pulau Samosir yang berada di tengahnya.

6283479649
via plus.google.com

Kota Ikhlas, 5 Mei 2016

7:26 pm

Musik Keroncong Masih Hidup di Pemalang

Pemalang, kota kecil di Jawa Tengah yang terletak di antara kota Pekalongan dan Tegal ini kaya akan seni dan budaya. Salah satu yang bisa kita perhatikan adalah musiknya, yaitu keroncong. Musik dengan sifat yang lembut dan harmonis ini menyajikan ketenangan bagi pendengarnya. Mendayu-dayu namun di lain kesempatan juga bisa menjadi musik yang enerjik dan garang.

Alat musik yang dipakai dalam keroncong pun telah mengalami perkembangan. Misalnya seperti cello yang diplot untuk menggantikan kendang, contra bass untuk menggantikan gong, dan flute bertugas menggantikan fungsi suling. Sementara untuk okulele cuk atau biasa disebut cukulele ini berfungsi sebagai alat musik utama yang menyuarakan “crung-crung” sehingga musik ini dinamai keroncong. Alat berdawai 3 (nilon) ini memiliki bunyi nada G, B, E pada setiap dawainya.

Ada satu lagi jenis alat yang mirip dengan cukulele, yaitu cakulele atau okulele cak. Alat satu ini mempunyai dawai berjumlah empat dengan urutan nada D, Fis, B. Cakulele bermain secara sahut-menyahut dengan cukulele.

Gitar akustik yang berfungsi sebagai gitar melodi justru dimainkan secara kontrapuntis (anti melodi). Yang menarik lainnya dari keroncong adalah suara biola yang berfungsi menggantikan suara rebab. Biola ini mampu  membius pendengar dengan bunyi gesekan yang menyayat dan melengking.

Hal lain yang cukup unik dari musik keroncong adalah perpaduan antara musik dan vokalnya. Musik atau iringan yang dimainkan dari beragam alat musik itu berbunyi sangat harmonis. Tidak ada yang  menonjol atau mendominasi. Menghasilkan bebunyian yang sangat rapat dan saling mengimbangi. Uniknya, bunyi iringan yang rapat itu dipadukan dengan bunyi vokal yang tetap pelan, tenang, dan meliuk-liuk dari nada rendah ke tinggi sehingga sifat musik ini akan tetap ramah di telinga.

Sifat musik yang demikian menjadi daya tarik untuk kalangan orang tua yang sebagian besar memang menyukai musik yang tenang. Abaz, salah satu pemuda asal Pemalang yang menyukai keroncong berkata, “keroncong itu bukan merupakan musik untuk golongan tertentu saja,” ketika dihubungi saat hendak menanyakan perihal latihannya. Sebagian besar orang memang beranggapan bahwa musik keroncong itu musiknya orang tua, tapi tidak dengan warga Pemalang. Ternyata banyak anak muda yang masih menggemari musik jenis ini.

Hal ini dibuktikan oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam sebuah grup musik keroncong bernama Orkes Keroncong Mustika. Mereka adalah Abaz (Melody), Willy (Biola), Joko (Flute), Indra (Cello), Yuyun (Cakulele), Arif (Cokulele) dan Agus (Contra Bass). Kawula muda inilah yang masih bertahan di jalur musik keroncong hingga saat ini.

cropped-1417787_626951467371898_285879796_o
Dok. OK Mustika

Bagi mereka musik keroncong bukanlah musik yang hanya untuk golongan tertentu, tetapi musik ini sangat fleksibel. Bisa dinikmati dan dimainlah oleh siapa saja, tidak memandang usia, agama, maupun profesi.

Bahkan musik ini juga bersifat fleksibel dari sisi musiknya itu sendiri. Artinya, musik ini bisa dipadukan dengan jenis musik apapun seperti jazz, blues, rock, pop, dan dangdut sekalipun. Hal ini dapat dilakukan agar musik keroncong tidak bersifat monoton, terus berkembang mengikuti zaman, dan pada akhirnya akan dapat dinikmati oleh lebih banyak orang.

13164357_1125568257510214_5239196801257605680_n
Dok. OK Mustika

Grup musik ini giat berlatih secara rutin setiap hari Jumat pukul 7.30 malam. Tempatnya bisa berpindah-pindah bergantung pada situasi dan kondisi. Tetapi lebih sering berlatih di rumah Bapak Sunardi, penggiat musik keroncong, di Pemalang. Latihan ini terbuka untuk umum. Artinya, siapa saja yang berminat untuk berlatih maupun hanya sekadar menonton sangat diperbolehkan untuk datang dan tentunya akan disambut dengan baik.

Selain latihan rutin, kegiatan lain yang dilakukan oleh OK Mustika yaitu mengisi hiburan di berbagai acara seperti acara pernikahan untuk mengimbangi hiburan musik dangdut yang terasa lebih marak dan umum di kalangan masyarakat. Hal ini juga bertujuan untuk mengenalkan musik keroncong kepada masyarakat Pemalang khususnya dan semoga bisa dijadikan sebagai alternatif hiburan yang tidak kalah menarik dengan musik jenis lain.

12112143_1000484646685243_865504259388812464_n
Dok. OK Mustika

Nama (Darti – Bagian 8)

cover darti

POV Diman

Kakiku yang terasa lumpuh kini mulai sedikit bisa digerakkan sejak sosoknya sempurna lenyap dari pandangan. Kuputar badan dan menghadap laut. Ada yang ingin kutanyakan padamu. Siapa perempuan itu? Kau pasti mengenalnya, bukan?

Aku merasa seperti pernah melihatnya. Tapi di mana? Kucoba mengingat beberapa potong kejadian lampau. Mungkin aku pernah melihatnya di sini. Atau mungkin aku pernah berpapasan di suatu tempat. Tapi rasanya tidak. Kuremas kepalaku yang masih rimbun dengan hutan rambut. Mencoba menemukan kepingan puzzle yang mungkin tercecer. Barangkali ada satu keping yang mewakili sosoknya.

“Pulang, yuk!” Suara Diman memecahkan lamunanku. Mengganggu kemesraanku berbincang dengan deru ombak.

Mataku mengerjap cepat mendengar kalimat pendek Mahmud. Yang berujar bahkan melenggang sebelum kuiyakan pintanya. Aku masih ingin di sini. Mungkin beberapa saat lagi. Mungkin sebentar lagi laut akan menjawab pertanyaanku. Atau menjelaskan hal lain kepadaku. Atau menceritakan sebuah misteri yang belum kuketahui sebelumnya. Atau …

Harus kucari tahu namanya.

Kuputar badan dan berlari kecil mengejar Mahmud.

Pulang (Darti – Bagian 7)

cover darti

POV Darti

Aku tidak boleh jatuh cinta. Paras itu, memang seperti pernah kulihat sebelumnya. Entah di mana. Siapa dia? Itu bukan berarti aku boleh dengan mudahnya terpesona, bukan? Lalu berpikir harus memilikinya dan tinggal bersamanya, bukan?

Perjalanan pulang selalu terasa menyedihkan. Pria itu … bisakah menjadi permintaan terakhirku? Tapi, bagaimana dengan ibu? Semakin banyak pertanyaan membuatku semakin gila. Mereka bahkan tak satu pun menemui jawab.

Langkahku semakin terseok, seperti terseret dan tak beraturan. Seakan melayang tak berpijak di bumi. Berhenti di taman depan rumah, kupetik satu kuncup bungan melati untuk kuciumi baunya. Memejamkan mata, menghirup dalam aroma bunga putih itu. Wanginya merasuk memenuhi rongga dada. Menenangkan syaraf ketegangan yang disebabkan oleh serangan tanda tanya.

Aku petik empat lima kuncup lagi untuk kubawa masuk. Kugenggam semuanya dengan tangan kiri, sementara tangan kananku merapikan selendang yang kabur-kabur. Ibu pasti sedang menungguku di dalam.

Perempuan (Darti – Bagian 6)

cover darti

POV Diman

 

Perempuan!

Aku sudah sepenuhnya berdiri tiga detik kemudian setelah melihat ada perempuan di pantai yang sepi ini. Dari mana dia?

Kebaya merah berpadu dengan kain lurik berwarna dasar putih dan bermotif cokelat telah sukses membalut tubuh perempuan misterius di depanku. Selenjang ia biarkan menjuntai di pasir. Sesekali tertiup angin laut yang berhembus lembut. Ombak masih saja berbisik di telingaku.

Aku beranikan untuk menyapa meski ada sedikit ragu yang tersisa.

“Maaf …” Suaraku setengah lirih namun berat karena pita suara yang belum begitu banyak kugunakan hari ini. Perempuan itu menoleh agak cepat. Mungkin terkejut. Lalu mengangguk dengan santun.

Oh, wajah itu … seperti pernah kulihat sebelumnya. Entah di mana. Bola mata bulat dengan tatapan teduh menenangkan. “Mbak datang sendirian ke sini?” Kuputar pandanganku ke segala arah. Mencari orang atau siapa pun yang mungkin menemani perempuan ayu ini.

“Saya tinggal di sana.” Jarinya menunjuk ke arah utara. “Engg, ini. Mau mengembalikan ini.” Ia menyerahkan sebuah benda hitam gepeng bundar. Aku ambil dengan hati-hati agar tak menyentuh tangannya.

“Oh, lho. Tertinggal?” Ini kan tutup lensa kamera milikku. Aku membolak-balikkannya sebentar. Memastikan lagi. Bagaimana bisa? “Terima kasih.”

Ia mengangguk untuk yang kedua kalinya. Merapikan selendangnya lalu beranjak pergi. Aku ingin menyusulnya, tapi kakiku tertahan. Seperti menancap ke bumi. Perempuan itu … siapa?

Bertemu (Darti – Bagian 5)

cover darti

POV Darti

Pasir putih masih bersih. Hanya ada satu baris jejak kakiku sendiri yang memanjang di belakangku. Ke mana mereka pergi?

Sejenak aku menikmati angin pantai yang berbisik di telinga. Memandang ke laut luas di depanku adalah hal yang selalu bisa kunikmati. Begitu dalam dan menenangkan sanubari. Kupejamkan mata untuk memaknainya lebih intim. Rasa-rasanya, aku dan laut adalah dua hal yang tak bisa lagi dipisahkan. Aku adalah laut. Laut adalah aku.

“Maaf.”  Suara seseorang mengagetkanku dari arah belakang. Memaksaku harus membuka mata dan menengok. Aku mengangguk dan langsung menunduk.

Pria itu.

Wajahnya, seperti pernah kulihat sebelumnya. Entah di mana.

“Mbak … datang sendirian?” Pria itu memutar pandangan ke segala arah. Memastikan tidak ada orang lain lagi selain kami bertiga.

“Saya tinggal di sana.” Jariku menunjuk ke arah rumahku. Satu-satunya rumah yang berada di daerah sini. “Engg, ini. Mau mengembalikan ini.” Aku menyerahkan benda gepeng hitam itu kepada pria di depanku.

“Oh. Lho? Tertinggal?” Dia nampak kebingungan. Menerima benda hitam itu dariku. Mengapitnya dengan jari telunjuk dan jempol. Membolak-baliknya dengan singkat lalu menatapku. “Terima kasih.”

Aku mengangguk untuk yang kedua kalinya. Merapikan selendangku, lalu beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Langkah yang sedikit tergesa karena malu. Tidak berani menengok ke belakang untuk memberikan lambaian tangan atau seutas senyum perpisahan.

Hatiku serasa entah. Seperti ada sedikit desiran. Hanya sedikit.